Emmm mau mencoba menulis tentang opini pribadi mengenai rencana penghapusan ujian nasional di Indonesia ah. Emmm gimana ya awalnya. Bismillah. Ujian nasional ini kan tujuan sebenarnya adalah evaluasi belajar tahap akhir para siswa SD, SMP dan SMA. Kalau aku pegang kata kunci evaluasi, evaluasi itu kan sifatnya ingin mengetahui anak-anak selama ini belajar atau engga, kalau belajar, belajarnya suka atau engga, mana yang sulit dipelajari, mana yang mudah dipelajari, mana yang suka dipelajari dan mana yang tidak suka dipelajari. Nah kalau sifatnya seperti itu, sebenarnya ga perlu standard nilai harus minimal 4, 5, 6 atau 7 deh.
Kenapa kok @wisnoegoentoro berpendapat tidak perlu nilai minimal 4, 5, 6 atau 7? Karena evaluasi tidak ada nilai minimal. Evaluasi bersifat ingin mengetahui apakah proses belajar mengajar dan menumbuhkan semangat belajar sudah berhasil atau belum. Menurut saya yang bodo, ketika ada nilai minimal 4, 5, 6 atau 7 dalam evaluasi ini akan membuat kepanikan. Bagaimana kalau saya tidak dapat meraih nilai itu?
Nah kepanikan itu kenapa bisa terjadi? Kepanikan itu bisa terjadi karena faktor yang sangat manusiawi, misal seorang anak yang memang benar-benar tidak suka menghafal, tentu akan takut setengah mati bila nilai biologi nya minimal harus 7. Kepanikan dan ketakutan ini bukannya mendorong peserta didik untuk termotivasi, namun malah sebaliknya. Peserta didik menjadi tidak menikmati proses belajarnya. Tidak hanya peserta didik yang tidak menikmati proses belajarnya, bahkan guru pun akan cenderung tidak menikmati proses mengajarnya. Guru menjadi tidak leluasa, guru terbebani dengan target nilai minimal, akhirnya aktivitas belajar menjadi garing, hampa, tanpa jiwa, hanya berkutat pada bagaimana caranya siswa memahami materi dan mampu memenuhi nilai kkm dalam waktu yang sudah ditentukan. Nah pada momen inilah manusia lupa, bahwa belajar tidak instan, belajar untuk memahami sesuatu butuh waktu yang berbeda-beda untuk setiap jiwa, apalagi apabila jiwa tersebut belum ada kecintaan terhadap apa yang akan dipelajarinya. Bangsa ini lupa bahwa manusia membawa hadiah-hadiah istimewa dari Allah ketika dilahirkan ceprot ke dunia ini. Mestinya kegiatan belajar berkutat untuk menggelegarkan hadiah-hadiah istimewa tadi.
Belajar bukanlah asal belajar bagi saya. Belajar merupakan kegiatan yang besar dalam kehidupan manusia, belajar tidak bisa dipaksakan, belajar harus membuat kesenangan, ketagihan dan kemajuan bagi pelaku belajar itu. Belajar bukanlah untuk mendapat nilai seratus. Belajar bukan untuk mendapat ijazah. Belajar adalah semua tentang cara mengisi kehidupan, menjalani kehidupan dan memperjuangkan kehidupan dengan bakat alamiah yang diasah dalam belajar. Bagaimana saya tega memaksakan belajar sinus, cosinus, tangen, integral, limit dan elips kepada anak yang sangat bahagia ketika tangannya sibuk membuat adonan kue, senyumnya merekah ketika menyalakan oven pemanggang, dan matanya berbinar ketika dia membuat foto dokumentasi tentang kue yang baru saja dibuatnya.
Itulah belajar menurutku, seorang muda yang bukan siapa-siapa, hanya rakyat jelata di bawah kepemimpinan para pembesar hebat dan kuat di sebuah Negara yang dikenal dengan nama Indonesia. Indonesia yang menginginkan menjadi Raya, sehingga bait lagu terakhir lagu kebangsaannya adalah Hiduplah Indonesia Raya.
No comments:
Post a Comment